DOSEN KAMPUS,
DOSEN MISTERIUS,
Jika sudah bergini gimana ?..
Mungkin pertanyaan ini yang keluar dari setiap mulut mahasiswa yang
merasa di kecewakan oleh salah seorang atau bahkan salah dua orang dosen yang
sering tidak masuk ketika ada jam kul
iah. Semuanya pasti menyadari bahwa kuliah di sekolah tinggi ini tidak ada
yang masuk dengan gratis bahkan ketika jatuh tempo pembayaran, seakan pihak
akademik memaksa harus membayar pada deadline yang sudah di tentukan, tanpa
mempertimbangkan apakah mahasiswa mempunyai sisihan untuk membayar, atau tidak
mempertimbangkan latar belakang mahasiswa yang kuliah disini.
Misalnya mahasiswa semester enam (VI) fakultas tarbiyah prodi PAI,
mereka menampakkan raut muka kegirangan pada saat dosen tidak ada, akan tetapi
siapa yang mau tahu bahwa mereka sebenarnya kecewa dan merasa telah dirugikan.
Betapa tidak anak semester enam fakultas tarbiyah prodi PAI itu DUnya adalah
sebesar Rp 1140.000. sebuah angka yang sangata besar untuk ukuran orang-orang
kelas bawah seperti mereka dan juga termasuk saya.
Dari pembayaran itu mahasiswa mempunyai proposi empat hari dalam
seminggu dengan rincian delapan (8) jam dalam seminggu dengan rincian. Dan
masign-masing dosen meiliki 14 (empat belas) petemuan. Jadi secara keseluruhan
semua proporsi jam kuliah yang seharusnya menjadi hak mahasiswa dengan tepat
waktu ialah 112 jam selama satu semester. Karena di STAIQOD ini sistem paket
maka saya tidak menghitung jumlah SKS yang di tempuh oleh masing-masing
mahasiswa, karena semua dibagi rata.
Jadi jika kita menghitung dengan besarnya tanggungan yang mahasiswa
miliki selama satu semester itu, maka setidaknya setiap mahasiswa membayar
setiap jam kuliah Rp 10.000 setap jam
kuliah atau setiap satu dosen yang masuk. Sekitar satu persen dari besarnya
tanggungan yang dimilikinya. Sehingga ketika ada dosen yang tidak masuk pada
jam yang normal, maka sama saja mahasiwa telah habis sia-sia satu persen dari
tanggungan itu, itu baru satu dosen dan dalam waktu yang sama pula, jika ada
dua dosen, tiga dosen maka mahasiswa telah rugi sekitar tiga persen dari
tanggungan itu, dan itu sekali lagi
bukan angka yang kecil untuk kalangan orang yang tidak berkecukupan, apalagi
anak pesantren yang notebene biaya makan saja masih hitung-hitungan.
Dan hitungan itu masih baru satu “ekor” mahasiswa, jika dalam satu
semester ada dua puluh lima mahasiswa, maka berarti dosen mempunyai tanggungan
sekitar Rp 250.000 setiap jam yang harus dibayarkan kepada mahasiswa. Tapi
untungnya kampus bukanlah lahan kuli yang semua harus diukur dengan materi, dan
tidak semua mahasiswa sadar akan nasibnya yang seakan di lantarkan. Akan tetapi
setidaknya pihak akademik maupun dosen mempunyai kesadaran terhadap hal itu,
bukan hanya kewajiban mahasiswa saja yang ditekan, sedangkan hak-haknya tidak
terpenuhi secara maksimal.
Mungkin para dosen mempunyai dalih bahwa dirinya mempunyai
kesibukan yang tidak bisa di tinggalkan sehingga dengan seenaknya ia mengorbankan
nasib anak bangsa yang katanya akan menjadi pemimpin dihari esok tanpa ada
keterangan konfirmasi seakan adanya seperti orang misterius yang kadang ada dan
kadang tidak ada. Apakah kemudian seperti ini cara mendidik seseorang yang akan
menjadi pemimpin di hari esok, bukankah seharusnya dosen itu mendampingi
pembelajar agar mempersiapkan diri mereka menjadi pemimpin berikutnya.
Begitulah kata Andrias Harefa.
Berbicara tentang dosen sebagai pendamping, maka apakah dosen-dosen
disini telah menjadi pendamping yang sesungguhnya dalam mempersiapkan mahasiswa
ini agar manjadi pemimpin di episode selanjutnya, dan bukankah nanti mahasiswa
ini akan menjadi pendamping juha bagi anak-anak didiknya untuk mempersiapkan generasi
pemimpin di eposede selanjutnya dan begitu seterunsnya. Hal yang
berkesinambungan inilah yang menjadi tanggungan setiap dosen yang dalam
mencetak dan membuat generasi dihari berikutnya setelah dirinya merasakan ke
udzuran. Tapi jika cara pendampingannya sepeti itu, bisa dibayangkan apa yang
akan tragedi apa yang akan terjadi pada episode selanjutnya, sebagaimana
diketahui bahwa dalam setiap episode jalan cerita itu tidak sama, dan mempunyai
tingkat klimaks yang berbeda, dan tentunya dengan adanya peran antagones yang
berbeda pula, sehingga jika tidak dipersiapkan dengan matang hari ini maka,
kemungkinan tingkat klimaks itu tidak akan “seru” dan kemungkinan akan kalah
dengan peran antagonis yang mana setiap episode pasti ada.
Akhirnya, maksud dari tulisan ini adalah bagaimana kami sebagai
mahasiswa mendapatkan hak-hak kami seseuai dengan proporsi jam normal yang
sudah di tentukan, dan jika memang ada salah satu dosen yang tidak bisa hadir
pada jam itu, setidaknya memberikan kabar agar kami tidak merasa dirugikan
dengan hanya menunggu keadaan yang tidak pasti. Dan untuk pihak civitas
akademika bagaimana tulisan ini menjadi masukan jika bermanfaat dan menjadi
saran untuk hari selanjutnya bagaimana mengkondisikan dan memberikan kabar jika
dosen tidak ada. Karena di akui atau tidak masalah “kesibukan” kami juga setiap
individu mempunyai kesibukan dan mereka masih rela meninggalkannya hanya demi
tidak memnyia-nyiakan tanggungan sebesar Rp. 10.000 perjam. Jika mahasiswa ini
saja merasa begitu, maka tidak adakah dosen yang bisa berfikir lebih dalam
untuk tidak menyia-nyiakan mereka sebagai panerus cerita di episode selanjutnya
?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar