UNTUK KAMPUS - Blognya Santri Al-Qodiri

Breaking

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Minggu, 03 April 2016

UNTUK KAMPUS

DOSEN KAMPUS, DOSEN MISTERIUS,
Jika sudah bergini gimana ?..
Mungkin pertanyaan ini yang keluar dari setiap mulut mahasiswa yang merasa di kecewakan oleh salah seorang atau bahkan salah dua orang dosen yang sering tidak masuk ketika ada jam kul
iah. Semuanya pasti menyadari  bahwa kuliah di sekolah tinggi ini tidak ada yang masuk dengan gratis bahkan ketika jatuh tempo pembayaran, seakan pihak akademik memaksa harus membayar pada deadline yang sudah di tentukan, tanpa mempertimbangkan apakah mahasiswa mempunyai sisihan untuk membayar, atau tidak mempertimbangkan latar belakang mahasiswa yang kuliah disini.
Misalnya mahasiswa semester enam (VI) fakultas tarbiyah prodi PAI, mereka menampakkan raut muka kegirangan pada saat dosen tidak ada, akan tetapi siapa yang mau tahu bahwa mereka sebenarnya kecewa dan merasa telah dirugikan. Betapa tidak anak semester enam fakultas tarbiyah prodi PAI itu DUnya adalah sebesar Rp 1140.000. sebuah angka yang sangata besar untuk ukuran orang-orang kelas bawah seperti mereka dan juga termasuk saya.
Dari pembayaran itu mahasiswa mempunyai proposi empat hari dalam seminggu dengan rincian delapan (8) jam dalam seminggu dengan rincian. Dan masign-masing dosen meiliki 14 (empat belas) petemuan. Jadi secara keseluruhan semua proporsi jam kuliah yang seharusnya menjadi hak mahasiswa dengan tepat waktu ialah 112 jam selama satu semester. Karena di STAIQOD ini sistem paket maka saya tidak menghitung jumlah SKS yang di tempuh oleh masing-masing mahasiswa, karena semua dibagi rata.
Jadi jika kita menghitung dengan besarnya tanggungan yang mahasiswa miliki selama satu semester itu, maka setidaknya setiap mahasiswa membayar setiap jam kuliah  Rp 10.000 setap jam kuliah atau setiap satu dosen yang masuk. Sekitar satu persen dari besarnya tanggungan yang dimilikinya. Sehingga ketika ada dosen yang tidak masuk pada jam yang normal, maka sama saja mahasiwa telah habis sia-sia satu persen dari tanggungan itu, itu baru satu dosen dan dalam waktu yang sama pula, jika ada dua dosen, tiga dosen maka mahasiswa telah rugi sekitar tiga persen dari tanggungan itu, dan itu  sekali lagi bukan angka yang kecil untuk kalangan orang yang tidak berkecukupan, apalagi anak pesantren yang notebene biaya makan saja masih hitung-hitungan.
Dan hitungan itu masih baru satu “ekor” mahasiswa, jika dalam satu semester ada dua puluh lima mahasiswa, maka berarti dosen mempunyai tanggungan sekitar Rp 250.000 setiap jam yang harus dibayarkan kepada mahasiswa. Tapi untungnya kampus bukanlah lahan kuli yang semua harus diukur dengan materi, dan tidak semua mahasiswa sadar akan nasibnya yang seakan di lantarkan. Akan tetapi setidaknya pihak akademik maupun dosen mempunyai kesadaran terhadap hal itu, bukan hanya kewajiban mahasiswa saja yang ditekan, sedangkan hak-haknya tidak terpenuhi secara maksimal.
Mungkin para dosen mempunyai dalih bahwa dirinya mempunyai kesibukan yang tidak bisa di tinggalkan sehingga dengan seenaknya ia mengorbankan nasib anak bangsa yang katanya akan menjadi pemimpin dihari esok tanpa ada keterangan konfirmasi seakan adanya seperti orang misterius yang kadang ada dan kadang tidak ada. Apakah kemudian seperti ini cara mendidik seseorang yang akan menjadi pemimpin di hari esok, bukankah seharusnya dosen itu mendampingi pembelajar agar mempersiapkan diri mereka menjadi pemimpin berikutnya. Begitulah kata Andrias Harefa.
Berbicara tentang dosen sebagai pendamping, maka apakah dosen-dosen disini telah menjadi pendamping yang sesungguhnya dalam mempersiapkan mahasiswa ini agar manjadi pemimpin di episode selanjutnya, dan bukankah nanti mahasiswa ini akan menjadi pendamping juha bagi anak-anak didiknya untuk mempersiapkan generasi pemimpin di eposede selanjutnya dan begitu seterunsnya. Hal yang berkesinambungan inilah yang menjadi tanggungan setiap dosen yang dalam mencetak dan membuat generasi dihari berikutnya setelah dirinya merasakan ke udzuran. Tapi jika cara pendampingannya sepeti itu, bisa dibayangkan apa yang akan tragedi apa yang akan terjadi pada episode selanjutnya, sebagaimana diketahui bahwa dalam setiap episode jalan cerita itu tidak sama, dan mempunyai tingkat klimaks yang berbeda, dan tentunya dengan adanya peran antagones yang berbeda pula, sehingga jika tidak dipersiapkan dengan matang hari ini maka, kemungkinan tingkat klimaks itu tidak akan “seru” dan kemungkinan akan kalah dengan peran antagonis yang mana setiap episode pasti ada.
Akhirnya, maksud dari tulisan ini adalah bagaimana kami sebagai mahasiswa mendapatkan hak-hak kami seseuai dengan proporsi jam normal yang sudah di tentukan, dan jika memang ada salah satu dosen yang tidak bisa hadir pada jam itu, setidaknya memberikan kabar agar kami tidak merasa dirugikan dengan hanya menunggu keadaan yang tidak pasti. Dan untuk pihak civitas akademika bagaimana tulisan ini menjadi masukan jika bermanfaat dan menjadi saran untuk hari selanjutnya bagaimana mengkondisikan dan memberikan kabar jika dosen tidak ada. Karena di akui atau tidak masalah “kesibukan” kami juga setiap individu mempunyai kesibukan dan mereka masih rela meninggalkannya hanya demi tidak memnyia-nyiakan tanggungan sebesar Rp. 10.000 perjam. Jika mahasiswa ini saja merasa begitu, maka tidak adakah dosen yang bisa berfikir lebih dalam untuk tidak menyia-nyiakan mereka sebagai panerus cerita di episode selanjutnya ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad

Responsive Ads Here